Jumat, 10 November 2017

Kode Etik dalam KAP


A.    Kode Etik Profesi Akuntan Publik
Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang berlaku efektif pada tanggal 1 januari
2010 disusun IAPI dengan mengacu pada Code of Ethics for  Professional Aaccountants yang diterbitkan oleh The International Ethics Standard Board for Accountants (IESBA-IFAC) Edisi tahun 2008. Pada teks aslinya, Code of Ethics yang diterbitkan IFAC terdiri dari 3 bagian:
1.     Bagian A (General Application of the Code)
2.     Bagian B (Proffesional Accountants in Public Practice)
3.     Bagian C (Professional Accountants in Business)
Namun, karena bagian C dipandang belum relevan untuk diadopsi IAPI, maka hanya bagian A dan B yang diadopsi setelah diterjemahkan dan dimodifkasi.
Bagian A dari kode etik ini menetapkan prinsip dasar etika profesi dan memberikan kerangka konseptual untuk penerapan prinsip tersebut, sedangkan bagian B memberikan ilustrasi mengenai penerapan penerapan kerangkan konseptual tersebut pada situasi tertentu. Kode etik tersebut menetapkan prinsip dasar dan aturan etika profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam kantor akuntan publik (KAP atau jaringan KAP) yang memberikan jasa professional yang meliputi jasa asurans dan jasa selain asurans. Dalam kode etik ini, individu yang dimaksud disebut sebagai “Praktisi”.
B.    Prinsip Dasar Etika Pprofesi
Prinsip dasar yang disajikan pada bagian A kode etik terdiri dari 5 prinsip, yaitu:
1.     Prinsip Integritas
·       Prinsip integritas mewajibkan setiap Praktisi untuk tegas, jujur dan adil dalam hubungan professional maupun hubungan bisnisnya.
·       Praktisi tidak boleh memberikan laporan, komunikasi dan informasi lainnya yang diyakini terdapat:
a)     Kesalahan yang material atau pernyataan yang menyesatkan.
b)    Pernyataan atau informasi yang diberikan secara tidak hati hati.
c)     Penghilangan atau penyembunyian yang dapat menyesatkan atas informasi yang seharusnya diungkapkan.
2.     Prinsip Objektivitas
·       Prinsip objektivitas mengharuskan Praktisi untuk tidak memberikan subjektivitas, benturan kepentingan atau pengaruh yang tidak layak dari pihak pihak lain memengaruhi pertimbangan professional atau pertimbangan bisnisnya.
·       Setiap praktisi harus menghindari hubungan yang bersifat subjektif atau yang dapat mengakibatkan pengaruth yang tidak layak terhadap pertimbangan profesionalnya.
3.     Prinsip Kompetensi Serta Sikap Kecermatan dan  Kehati-hatian Profesional
·       Prinsip kompentesi serta sikap kecermatan dan kehati-hatian professional mewajibkan serta Praktisi untuk:
a)     Meningkatkan pengetahuan dan keahlian professional yang dibutuhkan unutk menjamin pemberian jasa professional yang kompeten kepada klien atau pemberi kerja
b)    Mengguakan kemahiran professional secara seksama (cermat dan hati-hati) sesuai dengan standar profesi yang berlaku dalam memberikan jasa profesinalnya.
·       Pemberian jasa professional yang kompeten membutuhkan pertimbangan yang cermat dalam penerapan pengetahuan dan keahlian professional. Kompetensi professional dalat dibagi menjadi 2 tahap yang terpisah:
a)     Pencapaian kompetensi professional
b)    Pemeliharaan kompetensi professional
·       Pemeliraan kompetensi professional membutuhkan kesadaran dan pemahaman yang berkelanjutan terhadap perkembangan teknis profesi dan perkembangan binis yang relevan. Pengembangan dan pendidikan professional yang berkelanjutan sangan diperlukan untuk meningkatkan dan memelihara kemampuan Praktisi agar dapat melaksanakan pekerjaannya secara kompeten dalam lingkungan professional.
·       Sikap lecermatan dan kehati-hatian professional mengharuskan setiap Praktisi untuk bersikap da bertindak secara hati-hati, menyeluruh dan tepat waktu sesuai dengan persyaratan penugasan.
·       Setiap Praktisi harus memastikan tersedianya pelatihan yang tepat bagi mereka yang bekerja dibawah wewenangnya dalam kapasitas profesionalnya.
·       Bila dipandang perlu, Praktisi haru menjelaskan keterbatasan jasa professional yang diberikan kepada klien, pemberi kerja atau pengguna jasa professional lainnya untuk menghindari terjadinya kesalah tafsiran atas pernyataan pendapat yang terkait dengan jasa professional yang diberikan.
4.     Prinsip Kerahasiaan
·       Prinsip kerahasiaan mewajibkan setiap Praktisi untuk tidak melakukan tindakan sebagai berikut:
a)     Menungkapkan informasi yang bersifat rahaia yang diperoleh dari hubungan professional dan hubungan bisnis kepada pihak diluar KAP atau jaringan KAP tempatnya bekerja tanpa adanya wewenang khusus, kecuali jika terdapat kewajiban untuk mengungkapkanya sesuai dengan ketentuan hokum atau peraturan lainnya yang berlaku
b)    Menggukan informasi yang bersifat rahasia yang diperoleh dari hubungan professional dan hubungan bisnis untuk keuntungan pribasi atau pihak ketiga.
·       Setiap praktisi harus tetap menjaga prinsio kerahasiaan, termasuk dalam lingkungan sosialnya. Setiap praktisi harus waspada terhadap kemungkinan pengungkapkan yang tidak sengaja, terutama dalam situasi yang melibatkan hubungan jangka panjang dengan rekan bisnis maupun anggota keluarga atau anggota keluarga dekatnya.
·       Setiap praktisi harus tetap menjaga prinsip kerahasiaan  informasi yang diungkapkan oleh calon klien atau pemberi kerja.
·       Setiap praktisi harus mempertimbangkan pentingnya kerahasiaan informasi terjaga dalam KAP atau Jaringan KAP tempatnya bekerja.
·       Setiap praktisi harus menerapka semua prosedur yang dianggap perlu untuk memastikan terlaksananya prinsio kerahasiaan oleh mereka yang bekerj dibawah wewenangnya, serta pihak lain yang memberikan saran dan bantuan profesionalnya.
·       Kebutuhan untuk mematuhi prinsip kerahasiaan terus berlanjut, bahkan setelah berakhirnya hubungan antar Praktisi dengan klien atau pemberi kerja. Ketika berpindah atau memperoleh klien baru, Praktisi berhak untuk menggunakan pengalaman yang diperoleh sebelumnya. Namun demikian, Praktisi tetap tidak boleh menggunakan atau mengungkapkan setiap informasi yang bersifat rahasia yang diperoleh sebelumnya dari hubungan professional atau hubungan bisinis.
Dibawah ini merupakan situasi-situasi yang mungkin mengahruskan Praktisi untuk mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia atau ketika pengungkapan tersebut dianggap tepat:
a)     Pengungkapan yang diperbolehkan oleh huku dan disetujui oleh klien atau pemberi kerja.
b)    Pengungkapan yang diharuskan oleh hokum, sebagai contoh:
                                                                                                  i.         Pengungkapan dokumen atau bukti lainnya dalam siding pengadilan
                                                                                                ii.         Pengungkapan kepada otoritas public yang tepat mengenai suatu pelanggaran hokum
c)     Pengugkapan terkait dengan kewajiban professional untuk mengungkapkan, selama tidak dilarang ketentuan hukum:
                                                                                                  i.         Dalam mematuhi pelaksanaan penelaahan mutu yang dilakukan oleh organisasi profesi atau regulator
                                                                                                ii.         Dalam menjawab pernyataan atau investigasi yang dilakukan oleh organisasi profesi atau regulator
                                                                                              iii.         Dalam melindungi kepentignan professional Praktisi dalam sidang pengadilan
                                                                                               iv.         Dalam mematuhi standar profesi dan kode etik profesi yang berlaku
·       Dalam memutuskan untuk mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia, setiap Praktisi harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a)     Dirugikan tidaknya kepentingan semua pihak, termasuk pihak ketiga, jika klien atau pemberi kerja mengizinkan pengungkapkan informasi oleh Praktisi
b)    Diketahui tidaknya dan dikung tidaknya semua informasi yang relevan. Ketika fakta atau kesimpulan tidak didukung bukti atau ketika informasi tidak lengkap, pertimbangan professional harus digunakan untuk menenukan jenis pengungkapan yang harus dilakukan
c)     Jenis komunikasi yang diharapkan dan pihak yang dituju. Setiap Praktisi harus memastikan tepat tidaknya pihak yang dituju dalam komunikasi tersebut.
5.     Prinsip Perilaku Profesional
·       Prinsip perilaku profesioanl mewajibkan setiap Praktisi untuk mematuhi setiap ketentuan hokum dan peraturan yang berlaku serta menghindari setiap tindakan yang dapat mengdiskreditkan profesi. Hal ini menckup setiap tindakan yang dapat mengakibatkan terciptanya kesimpulan yang negative oelh pihak ketigas yang rasional dan memiliki pengetahuan mengenai semua informasi yang relevan yang dapat menurunkan reputasi profesi.
·       Dalam memasarkan dan mempromosikan diri dan pekerjaannya, setiap praktisi tidak boleh merendahkan martabat profesi. Setiap  Praktisi harus bersikap jujur dan tidak boleh bersikap atau melalukan tindakan sebagai berikut:
a)     Membuat pernyataan yang berlbihan menganai jasa profsinoal yang dapat diberikan, kualifikasi yang dimiliki atau pengalaman yang telah diperoleh
b)    Membuat pernyataan yang merendahkan atau melalukan perbandungan yang tidak didukung bukti terhadap hasil perkerkaan Praktisi lain.
C.    Kerangka Konseptual Etika Profesi
Kode etik mengharuskan Praktisi selalu menerapkan kerangka konsptual untuk mengindentifilasi ancama (threat) terhadap kepatuhan pada prinsip dasar serta menerapkan pencegahan (safeguards).
·       Ancaman terhadap kepatuhan praktisi pada prinsip dasar etika profesi dapat terjadi dalam situasi tertentu ketika praktisi melaksanakan pekerjaannya. Karena beragamnya situasi tersebut, tidak mungkin untuk menjelaskan setiap situasi yang dapat menimbulkan ancaman tersebut beserta pencegahan yang tepat dalam kode etik ini. Selain itu, karena berbedanya sifat perikatan dan penugasan pekerjaan, pencegahan yang diterapkan untuk menghadapi ancaman terhadap kepatuhan pada prinsio dasar etika profesi  dapat berbeda untuk situasi yang berbeda. Kerangka konsptual mengharuskan Praktisi untuk mengindentifikasi, mengevaluasi dan menangani setiap ancaman terhadap kepatuhan ada prinsip dasar etika profesi dengan tujuan untuk melindungi kepentingan public, serta mematuhi seperangkat peraturan khusus yang dapat bersifat subjektif.
·       Kode etik ini memberikan suatu kerangka untuk membantuk Praktisi dalam mengidentifikasi, mengevaluasi dan menanggapi ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi. Jika ancaman tersebut merupakan ancaman selain ancaman yang secara jelas tidak signifikan, maka pencegahan yang tepat harus dipertimbangkan dan diterapkan untuk menghilangkan ancaman tersebut atau mengurangi tingkat yang dapat diterima sehingga kepatuhan terhadap prinsip dasar etika profesi tetap terjaga.
·       Setiap praktisi harus mengevaluasi setiap ancaman terhadap kepatuhan dasar etika profesi ketika ia mengetahui atau seharusnya dapat mengetahui kadaan atay hubungan yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap prinsip dasar etika profesi.
·       Setiap Praktisi harus memperhatikan factor-faktor kualitatif dan kuantitatif dalam mempertimbangkan signifikansi suatu ancaman, jika Praktisi tidak dapagt menerapkan pencegahn yang tepat, maka ia harus menolak untuk meenrima perikatan tersebut atau menghentikan jasa professional yang diberikannya atau bahkan mengundurkan diri dari perikatan tersebut.
·       Praktisi mungkin saja melanggar suatu ketentuan dalam kode etik ini secara tidak sengaja, tergantung dari sifat dan signifikasinya. Pelanggaran tersebut mungkin saja tidak mengurangi kepatukan pada prinsip dasar etika profesi jika pelanggaran ersebut dapat dikoreksi sesegera mungkin ketika ditemukan dan pencegahan yang tepat telah diterapkan.
·       Kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi dapat terancam oleh berbagai situasi. Ancaman tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a)     Ancaman Kepentingan Pribadi, ancaman yang terjadi sebagai dar akibat dari kepentingan keuanga maupun kepentingan lainnya dari Praktisi maupun anggota keluarga langsung atau anggota keluarga dekat dari Praktisi.
b)    Ancaman telaan pribadi, ancaman yang terjadi ketika pertimbangan yang dibrtikan sebelumnya harus dievaluasi kembali oleh praktisi yang bertanggung jawab atas pertimbangan tersebut.
c)     Ancaman advokasi, ancaman yang terjadi ketika praktisi menyatakan sikap atau pendapat mengenai suatu hal yang dapat mengurangi objektivitas selanjutnya dari praktisi tersebut.
d)    Ancaman kedekatan, ancaman yang terjadi ketika praktisi terlalu bersimpat terhadap kepentingan pihak lain sebagai akibat dari kedekatan hubungan
e)     Ancaman intimidasi, ancaman yang terjadi ketika Praktisi dihalangi untuk bersikap objektif
·       Pencegahan yang dapat menghilangkan ancaman tersebut atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a)     Pencegahan yang dibuat profesi, perundang-undangan atau peraturan
b)    Pencegahan dalam lingkungan kerja
·       Pencegahan yang dibuat oleh profesi, perundang-undangan atay peraturan yang mencakup antara lain:
a)     Persyaratan pendidikan, pelatihan dan pengalaman untuk memasuki profesi
b)    Persyaratan pengembangan dan pendidikan professional berkelanjutan
c)     Peraturan tata kelola perusahaan
d)    Standar profesi
e)     Prosedur pengawasan dan pendisiplinan dari organisasi profesi atau regulator
f)     Penelaahan eksternal oleh pihak ketiga yang diberikankewenangan hokum atas laporan, komunikasi atau informasi yang dihasilna oleh Praktisi.
·       Pencegahan terterntu dapat meningkatkan kemungkinkan untuk mengidentifikasikan atau menghalangi perilaku yang tidak sesuai dengan etika profesi. Pencegahan tersebut dapat dibuat oleh prodesi, perundang-undangan, peraturan atau pemberi kerja yang mencakup antara lain:
a)     System pengaduan yang efektif dan diketahui secara umum yang dikelola oleh pemberi kerja, profesi atau regulator yang kemungkinan kolega, pemberi kerja dan anggota masyarakat untuk melaporkan perilaku Praktisi yang tidak professional atau yang tidak sesuai dengan etika profesi,
b)    Kewajiban yang dinyatak secara tertulis dan eksplisit untuk lemaporkan penggaran etika profesi terjadi
·       Sifat pencegaha yang diterapkan sangat beragam, tergantung situasinya. Dalam memberikan pertimbangan profesionalnya terhadap pencegahan tersebut, setiap praktisi harus mempertimbangkan hal- hal yang dapat menyebabkan tidak dapat diterimanya pertimbangan tersebut oleh pihak ketiga yang rasional dan memiliki pengetahuan mengenai semua informasi yang relevan, termasuk pengetahuan mengenai signifikasi ancaman dan pencegahan yang diterapkan.
·       Dalam mengevaluasi kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi, Praktisi mungkin diharuskan untuk menyelesaikan masalah dalam penerpan prinsip dasar etika profesi.
·       Ketika memulai proses penyelesaian masalah yang terkait dengan etika profesi, baik secara formal maupun informal, setiap praktisi baik secara individu maupun bersama-sama dengan koleganya, harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a)     Fakta yang relevan
b)    Masalah etika profesi yang terkait
c)     Prinsip dasar etika profesi yang terkait dengan masalah etika profesi yang dihadapi
d)    Prosedur internal yang berlaku
e)     Tindakan alternatif
·       Setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut, Praktisi harus menentukan tindakan yang sesuai dengan prinsip dasar etika profesi yang diidentifikasi. Praktisi harus mempertimbagkan juga akibat dari setiap tindakan yang dilakukan. Jika masalah etika profesi tersebut tetap tidak dapat diselesaikan, maka Praktisi harus berkonsultasi dengan pihak yang tepat pada KAP atau jaringan KAP tempatnya berkerja untuk membantu menyelesaikan masalah etika profesi tersebut.
·       Jika masalah etika profesi melibatkan konflik dengan atau dalam organisasi klien atau permberi kerja, maka Praktisi harus mempertimbangkan untuk melakukan konsultasi dengan pihak bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan, seperti komite audit
·       Praktisi sangat dianjurkan untuk mengdokumentasikan substansi permasalahan dan rincian pembahasan yang dilakukan atau keputusan yang diambil yang terkait dengan permasalahan tersebut
·       Jika masalah etika profesi yang signifikan tidak dapat diselesaikan makan Praktisi dapat meminta nasihat professional dan organisasi profesi yang relevan atau penasihat hokum untuk memperoleh pedoman mengenai penyelesaian masalah etika profesi yang terjadi tanpa melanggar prinsip kerahasiaan. Sebagai contoh, ketika menentukan kecurangan (fraud), Praktisi harus mempertimbangkan untuk memperoleh nasihat hukum dalam menentukan ada tidaknya keharusan untuk melaporkan tanpa melanggar prinsip kerahasiaan.
·       Jika setelah mendalami semua kemungkinan yang relvan, masalah etika profesi tetap tidak dapat diselesaikan, maka Praktisi harus menolak untuk dkaitkan dengan hal yang menimbulkan masalah etika profesi tersebut. Dalam situasi tertentu, merupakan dirinya dalam tim perikatan atau penugasan tertentu, atau bahkan mengundurkan diri dari perikatan tersebut atau dari KAP atau Jaringan KAP tempatnya bekerja.

Sumber:
Hery (2017). “Auditing dan Asurans: Integrated and Comprehensive Edition” Jakarta, Grasindo.



Jumat, 13 Oktober 2017

Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT. KAI 2006

             Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp, 6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp. 63 Miliar. Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan.  Audit terhadap laporan keuangan PT KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan publik.
                Hasil audit tersebut kemudian diserahkan direksi PT KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam rapat umum pemegang saham, dan komisaris PT KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik. ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT KAI tahun 2005 :
1.       Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005.
2.       Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
3.       Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
4.       Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70 Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari modal perseroan.
5.       Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
                Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan auditor akuntan publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT KAI baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktek. (Harian KOMPAS Tanggal 5 Agustus 2006 dan 8 Agustus 2006).
                Dari informasi yang didapat, sejak tahun 2004 laporan PT KAI diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang melibatkan BPK sebagai auditor perusahaan kereta api tersebut. Hal itu menimbulkan dugaan kalau Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan PT KAI melakukan kesalahan.
 Analisis:
Telah terjadi pelanggaran kode etik profesi akuntansi, diantaranya:
1.       Tanggung jawab profesi
 Akuntan Intern PT.KAI kurang bertanggung jawab karena tidak menelusuri kesalahan yang terjadi pada pencatatan laporan keuangan sehingga tidak menampilkan posisi keuangan yang sebenarnya.
2.       Kepentingan Publik
 Dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang berhubungan dengan perusahaan seperti  kreditur, investor, dan lain-lain. Akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi publik sehingga memanipulasi laporan keuangan yang seharusnya menderita kerugian, tapoi dinyatakan keuntungan, karena PT. KAI tidak sanggup menanggulangi kerugian tersebut.
3.       Integritas
 Akuntan PT. KAI tidak melalukan profesionalitas, karena memanipulasi laporan keuangan
4.       Objektifitas
  Akuntan tidak melaksanakan prinsip independent atau tidak memihak siapapun
5.       Profesi dan kehati hatian
  Akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak melaksanakan kehati-hatian professional
6.       Standar Teknis
        Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.
               
Pendapat:

              Manajemen PT. KAI harus koreksi atas salah saji atas: pajak pihak ketiga yang dimasukkan sebagai asset; penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan yang belum dibebankan; bantuan pemerintah yang seharusnya disajikan sebagai bagian modal perseroan, melakukan jasa profesional sesuai SPAP, dimana tiap anggota harus berperilaku konsisten dengan reputasi profesionalnya dengan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesioreksi dan memperbaiki sistem pengendalian internal perusahaan agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi.

Sumber : https://vkrmam.wordpress.com/2015/04/26/pelanggaran-etika-profesi-akuntansi-pada-pt-kai-2006/